English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Cerpen Tanpa Judul


.



    KRRRIIIGGGGGGG!!!!!

      “Heyyy…” Suara itu berasal dari seorang gadis berwajah oriental dengan bandana pita biru dikepalanya. Rambutnya panjang menjuntai, kulitnya putih –sesekali memerah bila tersenyum. Menggemaskan…. Ia mencolek lengan seseorang di sampingnya, saat berada di samping rak sepatu di depan ruang multimedia. Sebenarnya, tak ada maksud ingin menyapa siapa pun. Ia berniat menegur anak laki-laki itu –sepertinya sebaya dengannya- agar tidak menginjak sepatu yang baru saja dipakainya. 

    “Ha ha haey juga. Hehe..” laki-laki remaja itu tergaggu-gaggu.
    Dan ketika tahu maksud remaja oriental itu “Eh, maaf maaf….. So Sorry…. Sorry….” Rasa senang seketika lari tunggang langgang menjauh lalu mengimpuls syaraf rasa malu untuk bekerja secara perlahan tapi pasti. 

    “Iya… Ga pa pa…” bernada cuwek, tersenyum kecil dan berlalu begitu saja. Berjalan cepat dan sesekali diselipi dengan lari-lari kecil. Sepertinya terburu-buru.

    Anak laki-laki itu kemudian menganga melihatnya. Matanya menerawang. Bayangan sosok cantik yang baru dilihatnya lekat-lekat, detik demi detik kabur hingga tak rupa. Mulutnya terbuka lebar, seakan ikhlas sekalipun ada seekor lalat yang bermiat masuk ke dalamnya. Entah terpukau, entah sedang mengidentifikasi apa yang baru dilihatnya. Apakah bidadari seperti pada dongeng Jaka Tingkir, apakah ia belum terbangun dari tidurnya atau memang nyata…? Ia tidak tahu.

    Oh ya, gadis itu bernama Syaini . Sebagain temannya memanggil Syen bahkan Sensen (baca: ‘Sen’ seperti mengucap ‘empat’ bukan ‘Sen’ mata uang). Seperti nama orang Tiogkok kebanyakan. Tapi dia bukan Tiogkok bukan juga keturunan Jepang atau apalah macam-macam ras, suku, bangsa yang gemar di bedakan dan menjadi unggulan di mata orang kebanyakan. Syaini hanya gadis sederhana, lugu, cerdas, dan sangat ramah. 

    “Hay, Sen…..!” Seorang laki-laki –sepertinya lebih tua dari Sen- menyapa dengan hati riang gembira dari arah lorong, yang baru saja dilewati Sen.

    Namun, sayang seribu sayang sedikit pun Sen tidak menoleh. Bukan karena tidak ingin menoleh tapi…….

    Setelah sadar dari lamunannya ia melihat benda berbentuk lebah, ia berfikir mungkin itu sebuah flash disk, dan berinisiatif mengembalikannya pada gadis bidadari. Mungkin itu miliknya, pikirnya dalam hati.

      “Hoooo…. Oyy.…… Eh, ehem. “  memanggil canggung saat akan memanggil gadis bidadari itu lalu berlari menggejar. “Heeeyyy… Heh heh heh… Heyyy…” terenggah-enggah sesekali. Gadis itu berjalan setengah berlari, cepat sekali.

     Gadis bidadari kemudian menoleh hanya melirik sebentar kemudian berlalu lagi. Seperti tak punya urat lelah. Setelah melewati sepanjang koridor lantai dua, melewati tikungan lalu turun melewati anak tangga. Rambut panjangnya tergerai, mengibas mengikuti alur geraknya.

    “Eh…. Kamu pita biru…. Heh heh heh…”  tenaganya hampir habis setelah meneriaki si pita biru dari lantai dua. Tangan kanannya mengganjal perutnya –sepertinya mulai terasa sakit- sampil menuruni anak tangga. Wajahnya pucat.

    Menyerah sudah…. Sekalipun bidadari itu akan berhenti tiga langkah lagi ia tidak akan megghampirinya. Lututnya bersimpuh tak kuat menahan sakit perutnya. Bukan dari efek berlari dan turun tangga. Tapi, baru kali ini ia melihat gadis sampai-sampai ia terlupa antara kenyataan atau mimpi, itu saja sudah membuatnya lemas.

    Dari arah tangga muncul sosok remaja laki-laki yang tadi menyapa Syen. Laki-laki itu tampan sekali. Seperti keturunan orang Eropa. Matanya biru keabu-abuan, berkulit putih, gaya rambut mohawk, layaknya pelajar kebanyakan. Sosok idola yang sering digilai remaja-remaja putri. Ia berlari kemudian berteriak “SYEN…!” keras sekali.

    Kali ini Syen atau gadis bidadari berpita biru itu menoleh. Berbalik arah lalu berlari. Bukan karena teriakan yang baru ia dengar tapi, ia melihat anak laki-laki yang tadi ditegurnya, berlutut sambil merintih kesakitan memegangi perutnya. Syen menghampirinya.

    “Hey… Kamu manggil aku?” bertanya dengan wajah iba. Sedikit merasa bersalah, tak enak hati.
    Lagi-lagi remaja laki-laki itu tertegun. Mengguman “Emmm waah….” Rasa sakit di perutnya hilang seketika.

    “Heeyyy…. Kenapa?”
    “I ii ini tadi jatoh. Punya ka kamu kan?” tanyanya terbata-bata sambil menyodorkan flash disk yang telah ia temukan.

    “Oh iya… Makasih ya…” jawaban singkat namun tersungging senyum di wajahnya. Pipinya memerah dan matanya sipit sekali. Tanpa memperdulikan siapa anak itu.

    Dua orang remaja ini tidak menyadari bahwa ada anak lain yang sedang memperhatikan gerak-gerik dan percakapannya. Tak lama ia bersuara “Syenn.. Tunggu..!”

    Syen baru sadar kalau suara lantang yang membuatnya berbalik bukan suara anak yang baru saja mengembalikan flash disk miliknya tapi,….

    “Kak Bimo…!”
    Sebenarnya Syen sedang terburu-buru, sebab bel masuk setelah istirahat sudah 10 menit yang lalu berbunyi. Tapi, ia tak punya nyali untuk berpaling dari seniornya, Bimo. Selain itu, ia juga penasaran untuk apa memanggilnya.

    “ Ada apa?” bertanya sambil jalan perlahan
    Sembil mengikuti Syen berjalan, Bimo juga menjelaskan maksudnya “Aku cuman mau mastiin aja. Lusa kan ada pertandingan basket persahabatan SMA Citra Bangsa lawan SMA Pelita, sekolah kita. Kamu harus nonton, bisa kan? Pertandingannya di hall indoor kita kok. Pokonya kamu harus liat.”

    “Pulang sekolah?”
    “Iya. Pertandingan terakhir. Kamu wajib dateng..! ”
    “Eh…. Tapi, aku ga…..”
    Belum sempat Syen melanjutkan kata-katanya, Bimo berlari dengan berteriak “Wajib buat kamu…! Byeeeee..!”

     Jujur saja ia merasa jarang mengenal apa lagi akrab dengan kakak kelas. Mengenal Bimo saja baru beberapa minggu yang lalu saat mengikuti ekstra kulikuler teater. Selain menjadi bintang basket, Bimo juga aktor yang hebat –siswa populer. Sedangkan Syen, awalnya ia bukan anak teater, pandai bermain peran saja tidak. Syen mengikuti ekstra kulikuler bahasa inggris. Ia sungguh mahir dan fasih berbahasa Inggris dan  beberapa bulan lalu sebelum kenaikan kelas dilibatkan dalam acara Festifal Bahasa, yaitu acara tahunan khusus budaya dan sastra dari berbagi Negara. Ia dilibatkan dalam pembuatan naskah drama berbahasa Inggris umtuk anak teater yang sengaja mengambil tema Kerajaan Inggris.

    Dari situ lah, anak teater menyadari bahwa selain mahir berbahasa Inggris, Syen juga berbakat dalam membuat naskah. Dan hingga saat ini, Syen masih membuat naskah drama untuk mereka.

      PRRAAKKK!!!
    Dilemparnya sepedah tak berdosa itu tanpa ampun. Sesekali berjongkok, lalu berdiri lagi sambil menendang-nendang ban sepedahnya. Mungkin, jika hidup, ia akan merintih kesakitan dan babak belur tentunya. Kesal sudah, dilinggal lah sepedah itu. Tak peduli walau 1,5 km akan ditempuhnya dengan berjalan dan setengah beralari. Sepedahnya hilang atau tidak yang pasti kepalanya akan meledak dan hatinya sudah panas meluap-luap.

    Dari kejauhan seorang anak laki-laki –tinggi kurus, berwajah seperti orang Timur Tengah, berkulit hitam, bibirnya tebal, seperti kaukasoid berkulit hitam pada umumnya- melihat gerak-gerik anak yang baru saja membanting sepedahnya dari dalam Timor. Persis seperti anak pita biru kemarin lusa, dalam hati ia menggumam. Seingatku, Syen juga pernah bertemu, tapi tak pernah diperhatikannya. Lalu meminta sopirnya untuk berhenti dan melihat apa yang terjadi pada sepedahnya dan gadis itu tentunya. Tak lama kemudian…..

    “Hey, pita biru!” mengayuh sepedah dengan perlahan lalu menyapa dengan ramah, tapi tak digubris. Syen tak peduli. “I ii ni sepedah mu…” berhenti mengayuh lalu menuntun sepedahnya.

    Syen juga berhenti, mengusap air matanya. Lalu tersenyum.
    “Masih inget ama aku…?” bertanya ragu
    “Ka ka kamu yang tereak-tereak di tangga bukan….??? Hahahah…” rupanya Syen masih ingat, tawanya meledak persis sekali gayanya seperti orang gila yang lupa minum obat penenag. Setelah

    Laki-laki itu terdiam lalu “Hahahaha…” lepas sudah tawanya. Ternyata ada yang lebih gila darinya.
    Berawal dari itu, Syen berkenalan, penasaran lalu berbincang-bincang. Namanya Anton, sebaya dengan Syen, satu grade tapi beda kelas, Syen XI S4 sedangkan Anton XI A3. Hobinya bermain game, browsing, mengutak atik laptop, dream weaver, java script, php, atau apalah segala jenis game yang Syen tidak tahu.

    Bahkan bercerita tentang pergaulan di sekolah, tentang kebiasaan kakak dan adik kelas, ekskul, tempat kursus pelajaran yang bagus, tempat tinggal, hingga masalah apa yang membuat Syen menangis. Ia berfikir “Masa gara-gara rantai sepedahnya lose,sampai nangis begitu.” Syen tidak bisa menjelaskan hal itu sekarang. Akhirnya, mengajak Anton untuk ikut ke tempat favoritnya pada hari Minggu nanti. Anton pun setuju.

    Syen termenung, berkaca, dan menangis lagi. Mengingat-ingat kejadian tadi siang. Pikirannya penat. Sesekali juga mengingat saat mereka bersama menyanyikan With You, Crish Brown –lagu itu lebih pantas untuk sepasang kekasih, tapi mereka senang menyanyikannya- lagu mars andalan mereka.

    Pertandingan basket tadi siang berjalan sangat menegangkan dan hasilnya memuaskan. Walaupun, Tim SMA Citra Bangsa sangat unggul, tetapi SMA Pelita menangkan pertandingan dengan skor 47-38. Bahkan, Bimo juga sempat melakukan 3 point beberapa kali. Kemenangan yang sesuai harapan Bimo, di akhir laganya menjadi bintang basket SMA Pelita. Ia juga berencana, jika berhasil memenangkan pertandingan ini ia akan mengutarakan perasaannya pada Syen, tepat seusai pertandingan. Tentu, tanpa menunggu, sesegera mungkin diwujudkannya.

    Pertandingan usai. Para penonton, anggota cheer, serta panitia lomba, satu per satu meninggalkan arena pertandingan. Syen ada di tribun tengah, menunggu antrian penonton lain yang akan keluar. Ia bersama Selly. Sementara teman yang lain menghilang entah kemana. Tiba-tiba Nova datang, menyeret Syen secara paksa menuju tribun depan, kasar sekali.

    Dari kejauhan segerombol anak yang tadi menjadi supporters, bersorak-sorak, mengebuk-gebuk drum sambil meyanyikan One Time, Justin Bieber. Mereka berjalan menuju tenggah lapangan, ada yang membawa sepanduk berwarna hitam dengan background hati berwarna pink dan di tengahnya bertuliskan “I LOVE U” berwarna merah. Nova yang tadi di atas trubun lari tunggang langgang mengikuti para supporters.

    “Waw… Acara apa nih…? Hahaha” Tanya Selly.
    “Kayaknya ada yang lagi kasmaran. Jatoh cintrong stadium akhir. Norak!” jawab Syen ketus.
    Anak-anak semakin gaduh. Lagu yang dinanyikan memang pas. Liriknya menggoda, tapi manis.
    And girl you're my one love, my one heart
My one life for sure
Let me tell you one time
I'm a tell you one time


    Dari belakang barisan supporters, muncul seorang laki-laki yang kemarin lusa menemui Syen, rambut mowhaknya yang mengkilap, tertata rapi. Ia masih menggunakn seragam basket SMA Pelita dengan membawa gitar acoustic lalu bernyanyi “Girl, I love, girl I love you… Girl, I love, girl I love you…” gagah, tampan sekali. Gaya bernanyinya seperti penyanyi aslinya. Sesekali melirik, menaikkan alis kanannya, menatap tajam, mata biru keabu-abuannya bersinar, karismatik. Siapa perempuan yang sudi menolaknya.

    “Yeeeeeeyyyy….!!!” Semua bersorak, bertepuk tanggan.
    “Selly…. Tuh kan, aku bilang juga apa…” percaya sekali ucapnya. Selly sering bercerita tentang Bimo. Selly memang menyukainnya, bahkan mengaguminya.

    “Ya ampun aku gugup banget Syen… Gimana nih..?” Selly jadi ikut ge’er.
    Syen turun, menuju lapangan. Tinggal Selly yang berada di tribun. Sesampai di lapangan Syen menggeret tangan Bimo, menuju ke tribun depan. Tak disangkal jika Bimo bingung setengah mati. Ia takut terjadi salah paham. Semua terdiam, bertanya-tanya apa maksud tingah Syen.

    Nova berteriak “Woyyy…. Malah bengong. Udah buruan…!!”
    Syen turun, menuju lapangan lagi. Bersorak “Yeeeyyy… Selly good luck ya!” Syen salah tingah,binggung mau bilang apa. Ia senang melihat sahabatnya yang cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
    Lamunannya terhenti. Syen tak sanggup meneruskannya. Hampa.

    Di depan galery lukis di sekolahnya, Syen duduk termenung menatap jauh. Setelah sekolah berakhir Syen sering mampir ke galeri itu, hanya sekedar melihat lukisan atau karya yang baru dibuat oleh siswa-siswa SMA Pelita. Tak jarang Syen juga berbincang dengan Pak Bakri, Guru seni rupa dan teater yang juga merangkap sebagai pembimbing ekstra kulikuler kedua bidang tersebut. Hingga Syen tak sadar, teman dekatnya, Selly dan teman-teman yang lainnya sudah ada di sampingnya.

    “Dooorrrr….!” Bersamaan  mengejutkan Syen. Membuat suasana menjadi gaduh.
    Syen kebingungan, kaget, nawanya serasa melayang, melambung ke udara lalu dilempar lagi ke raganya. Sungguh keterlaluan.

    “Ngelamun mulu nih!” Selly mengawali pembicaraan
    “Iya… Mikir apa hayoo?” Warda bertanya basa-basi
    “Mr. B kaleee…. Hahahaha…” Nova yang memang dasarnya tukang gossip suka bercuap-cuap mulai bercelatuk, mengoda dan membuat sensasi sebagai bahan pembicaraan.

    Tak disangkal memang benar kata Nova. Mr. B –Bimo- dan Selly sahabatnya, berotasi dan berevolusi mengelilingi garis edar fikirannya.
    “Syen….” Warda memanggilnya yang sedari tadi masi diam saja. “Syen, kamu sakit ya???” mulai khawatir.

      “Sensen…” Selly ikut memanggil. Tapi, tak dijawab juga “Woi woooiii…” sambil mengguncang pundaknya.

    Sadar juga akhirnya. “Eh….” Sok ikut ketawa-ketiwi, mimiknya innocent sekali. Seperti murid bengal yang katahuan tidur saat pelajaran, detegur gurunya, malah membersihkan belek di matanya. Sama persis dengan Syen.

    “Eh kemaren ada cewek cuwek, lugu, manis, imut, rajin menabu…..” seperti itulah saat Nova berbicara, bawel dan ketus. Berbeda dengan Warda yang tidak terlalu doyan ngobrol. 

    “Halahhhh to the point aja…! Kelamaan.”
    “Kemaren kenapa kamu langsung kabur gitu aja sih? Kasian tuh Bimo nunggu jawaban dari kamu.” pertanyaan Selly mewakili pertanyaan teman-tenamnya. Jawaban Syen sangat ditunggu-tunggu. Semua penasaran, tapi sepertinya Selly tau apa alasan Syen kabur begitu saja, namun ia pura-pura tidak tahu.

    “Oh, itu… Biasa lah, penggilan alam. Hehe…” Jawaban yang tidak sesuai harapan. Padahal temanya berharap ia cerita yang sebenarnya, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya. Syen bukan tipe anak yang suka curhat.

    “Yaaaahhhhh…”
    Jika sudah begitu, mereka tak bernafsu lagi untuk bertanya. Walau pun masi sangat penasaran. Beralihlah perbincangan mereka. Apa saja bisa jadi bahan perbincangan. Seperti, adik kelas yang berdandan norak lah, anak orang tajir keturunan bangsawan lah, darah biru lah, darah merah lah, sampai kabar Bimo yang tertarik pada Syen sempat menjadi sensai bagi mereka, maklum saja Syen jarang ikut mengosip. Bahkan Nova bersedia menjadi mak comblang walau tanpa imbalan sedikit pun.

    “Eh, tau ga…….” Nova si empunya tukang gosip memulai aksinya.
    Bagitulah, sembari menunggu jemputan –tidak seperti Syen yang lebih gemar naik sepedah ke sekolah- mereka berkumpul bersama. Perbincangan demi perbincangan tak ada habisnya jika Nova yang memimpin. 
Dan akhirnya, pembicaraan beralih pada seorang anak baru bernama Katon. Syen hanya mendengar sesekali, sebab ia mendapat tugas menjadi konsultasi adik kelas yang sedang mengikutik ekskul melukis jadi mondar-mandir keluar masuk galeri.

    “Eh udah pada tau belom anak baru yang namanya Ka Ka apa ya..? Katu eh bukan Karton eh salah…. Katonnn…!!”

    “Ganteng?” Selly mulai antusias
    “Boro-boro ganteng. Ih amit-amit deh. Kamu tau ngak?? Denger-denger anak itu rada autis mangkanya didrop out deh sama sekolahnya yang dulu. Ngak cuman itu, katanya sih anak itu rada ga waras. Masa yang bener aja ntar dia mau nyiptain sepedah terbang lah, orang bisa jalan ngawang lah kalo  pakek sandal ajaib. Apa lah yang aku gak paham. Mungkin emang karna dianya sinting kali ya…. Bla bla bla….” Nova berkicau tanpa ba bi bu, ta ti tu mengupas image orang sesuka hati, tak tahu siapa yang menjadi narasumbernya.

    Ya, tentu saja Syen tak pernah peduli akan hal itu. Tapi kelamaan ilfeel juga mendengar kisah anak baru yang malang itu. Syen terbawa arus, nuraninya mulai tersesat, begitu pula teman-temannya.

    Tak lama pak Bakri datang bersama seorang murid laki-laki. Lalu mamperkenalkannya “Anak-anak hari ini kita mendapat satu anggota baru yang kebetulan baru pindah di sekolah kita. Silahkan memperkenalkan diri.”

    “Perkenalkan nama saya Katon al Arsya kelas XI A3. Oh ya.., panggil saja Anton.”
    “HAH..?!” Syen terkejut. Sedari tadi ia memang tidak memperhatikan. Begitu menendengar nama Katon kelas XI A3 dan keterangan dari pak Bakri bahwa ia murid pindahan. Ditambah lagi cerita Nova barusan, membuatnya shock. Ia keluar galeri menuju toilet. Dan saat ia kembali…

    “Sen giman sepedahnya? Uda di bawa ke RS?”  Tanya Katon konyol.
    Saat itu Syen berharap temannya tidak tahu jika dia sedang berbicara dengan Katon si autis. Tapi sayangnya Nova mendengar. Buru-buru ia menarik Syen dan mengintrogasinya.

    “Eh, kamu kenal ama si autis itu…? Anak sinting yang aku certain barusan…” menyindir mentah-mentah dihadapan Syen dan teman-temannya.

    “Iya… Kenapa? Hehehe…” Syen meringis, salah tingah.
    Rupanya Syen harus berurusan dengan Nova. Mana mungkin temannya yang manis berwajah seperti babrie dari China itu berkenalan dengan Katon. Malah pangeran rupawan yang jelas-jelas meyukainya malah dicampakkan. Mau tak mau Syen bercerita dari awal mereka bertemu hingga mengenalnya.

    Katon bingung, apakah dia akan pergi atau tetap di rumah saja. Sunggu tak kuasa ia menahan perih di hatinya. Ia tak mau merusak image Syen di hadapan teman-temannya karena telah mengenalnya. Tapi tak ada salahnya juga bila datang ke tempat yang sudah dijanjikan, yaitu Taman Mejikuhibiniu, gumamnya dalam hati.

    Rupanya Syen sudah menunggu lumayan lama. Tanpa pikir panjang ia mengajaknya ke sanggar lukis tempat favoritnya. Disana ia banyak bercerita.

    Memang benar jika Katon penderita autis sejak balita. Tetapi, lama kelamaan sindrom itu menghilang, dan berubah menjadi obsesi yang selalu ingin wujudkan oleh Katon. Hal tersebut didukung oleh ayahnya. Namun, pihak sekolahnya tidak dapat menerima ide-ide cemerlang katon untuk diikutkan dalam olimpiade apa pun. Bahkan menolaknya mentah-mentah. Sebab mereka takut nama baik sekolahnya tercemar karena Katon sempat menjadi penderita autis. Karena itu lah, Katon pindah sekolah. 

    Syen terenyuh saat mengetahui hal itu. lalu berkata,“Kamu tahu, Tuhan tidak menuntut kita menjadi manusia sempurna dan berhasil. Ia hanya menuntut kita berani mencoba dan menjalani proses hidup dengan benar. Sama yang baru aku alamin kemaren.”
          Ia teringat kejadian setelah pertandingan basket dan meneritakannya pada Katon.
          “Syen bukan Selly yang aku mau. Tapi kamu. Would you let me to be your boy?”
          Brukk!
  
 Selly ambruk. Pingsan, tergeletak begitu saja. Sedangkan Syen lari tunggang langgang meninggalkan arena basket, tak peduli dengan apa pun. Ia menuju kelas, ke parkiran mengambil sepedahnya, lalu pulang. Mengayuh sepedahnya sangat cepat hingga lupa bagaimana cara berhenti.

    Jujur saja Syen takut. Takut Selly marah dan membencinya. Namun, ia sadar tingkahnya saat itu tak jauh berbeda dengan seorang pengecut. Esoknya, ia meminta maaf kepada Selly. Selly juga tak merasa Syen telah berbuat salah padanya. Hanya saja,”Kenapa kamu diem aja pas tau aku pingsan. Eh, malah lari lagi. Aku tuh pingsan gara-gara dari pagi belom makan tauk. Hahahaha.” Protes Selly

    Katon juga tertawa geli mendengar ceritanya. Diam-diam Katon juga mengagumi sosok Syen yang lugu, cerdas, cuek, dan mudah bergaul.

   Ia tersenyum,”Syen mau kah kau jadi kekasihku.” tanyanya dalam hati.
    Syen membalas senyumnya tanpa tau apa isi hati Katon.

SEKIAN

Your Reply